Menakar Peluang Indonesia, Memetik “Energi Gratis” Sang Mentari

Kebutuhan energi membuat warga dunia berupaya mati-matian mencari dan mengamankan sumber energi. Terjadi konflik-konflik dan ketegangan geopolitik antar negara karena kepentingan akan energi. Bahkan perang pun terjadi karena konflik kebutuhan energi.

Embargo minyak oleh negara-negara Arab saat beralangsungnya perang Arab-Israel pada 1974 telah menimbulkan krisis minyak pertama. Kemudian revolusi Iran pada 1979, dilanjutkan perang Irak-Iran melahirkan krisis minyak dunia kedua. Lagi-lagi invasi Irak ke Kuwait pada 1990 sempat membuat harga minyak membubung tinggi.

Konflik geopolitik seperti ini sering menciptakan ketegangan dunia dan menaikkan harga energi dunia. Pertama kali, minyak bumi kan langka, lalu harga minyak dunia naik, lalu diikuti harga gas, dan juga harga batubara. Ini membuat banyak negara pengimpor energi merasa tidak aman.

Adanya kontrak-kontrak jangka panjang pasokan batubara dari perusahaan tambang atau perusahaan gas alam, juga mencerminkan kebutuhan akan pasokan yang aman untuk jangka panjang. Ada yang kontrak hingga 20 tahun bahkan lebih. Ada juga negara yang rela membangun perusahaannya di negera lain, untuk memastikan pasokan diarahkan ke negara nya. Demikian rumitnya persoalan energi fosil ini, dan suatu saat pun akan habis pula cadangannya.

Mencari energi yang tidak tampak, lupa energi sekitar

Semua negara mencari dan mengamankan kebutuhan energi masing-masing. Disaat bersamaan ini menimbulkan suatu paradoks. Banyak insinyur, ahli geologi, pakar pertambangan/ perminyakan, melakukan pencarian energi dalam perut bumi. Bahkan mencari hingga ke dasar lautan untuk menemukan gas atau minyak bumi.

Dengan tingkat keberhasilan pengeboran yang beragam. Misalnya dalam melakukan proyek pengeboran minyak, dari 10 titik misalnya hanya diperoleh 1 titik yang menghasilkan minyak sesuai prediksi. Jika sial, malah tak satu titik pun menghasilkan minyak.  

Demikian juga halnya dalam pengeboran untuk mencari titik panas bumi, terkadang hanya beberapa titik yang menghasilkan panas bumi sesuai harapan. Terkadang juga panas yang dihasilkan tidak besar, tidak sesuai estimasi proyek. Ini akan membuat biaya investasi mahal dan energi yang dihasilkan pun menjadi tinggi harganya.

Betapa hari yang indah, seakan tanpa menyadari bahwa Sang Pencipta mengirimkan semua keindahan itu ditambah pancaran energi dalam sinar matahari. Yang disediakan setiap hari tanpa perlu membayar, namun terbuang begitu saja.

Energi Panas dan Cahaya dari Matahari 

Energi sebetulnya sangat besar terkandung dalam sinar matahari. Ada dua jenis energi yang dibawa oleh sinar matahari. Pertama adalah energi panas. Jika matahari bersinar cerah, panas yang dibawa oleh sinarnya akan memanasi semua permukaan benda yang dikenai.

Lalu termasuk udara sekitar pun menjadi hangat bahkan panas saat terik. Dengan adanya panas itu, maka pakaian yang dijemur bisa kering, hasil pertanian semisal padi bisa dijemur kering dibawah sinar matahari.

Energi berikutnya adalah energi dalam cahaya itu sendiri. Energi ini hanya bisa ditangkap oleh photovoltaic, sel surya yang didisain sedemikian rupa untuk menghasilkan energi listrik, jika dikenai cahaya matahari. Teknologi ini sering dikenal sebagai pembangkit listrik tenaga surya.

Menakar Peluang Indonesia Memetik Energi Surya

Dengan letak geografis yang membentang pada garis katulistiwa, Indonesia sangat diuntungkan secara iklim. Indonesia menikmati cuaca tropis dengan pancaran sinar matahari sepanjang tahun.

Tidak mengalami variasi musim sebagaimana negara lainnya. Ini memberi peluang besar bagi Indonesia untuk memanen energi listrik sepanjang tahun. Setidaknya 5 jam dalam, sinar matahari akan dinikmati oleh Indonesia. Ada yang bertanya, masa sih Indonesia bisa?

Ayo kita lihat alasan-alasan mengapa Indonesia sangat bisa memanfaatkan energi matahari ini.

  • Sinar Matahari yang Melimpah

Indonesia menerima pancaran sinar matahari hampir setiap hari sepanjang tahun. Kualitas nya memenuhi standar baik, lebih bagus dari di Jerman atau Jepang. Kita memiliki kekuatan radiasi matahari 4,8 kWh per m2 secara rata-rata. Di Indonesia timur nilainya malah lebih tinggi. Jadi kita hampir sepanjang tahun mengalami ‘nice day’. Dengan berandai-andai Indonesia menyamai majunya Singapura, nanti di tahun 2050. Maka Indonesia akan mengkonsumsi sekitar 3000 TWh per tahun. Ini membutuhkan sekitar 1800 GWp PLTS.

  • Ketersediaan Lahan 

Daratan Indonesia mencapai 1,9 juta km2. Indonesia tidak akan kekurangan lahan untuk menempatkan instalasi pembangkit listrik tenaga surya. Selain daratan,tedapat banyak danau di Indonesia, sekitar 120 rbu km2. Perairan laut yang relatif tenang, tidak berombak, yaitu laut luas lautan internal dan laut kepulauan sekitar 3,1 juta km2. Pun gedung-gedung dapat dipasangi panel surya.

  • Harga solar cell yang semakin murah

Data International Renewable Energy Agency mencatat bahwa harga listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga surya telah turun dari 37,9 sen USD per kWh (2010) menjadi rata-rata 6,8 sen USD per kWh (2019). Ini menunjukkan penurunan yang sangat drastis turun dalam 10 tahun, turun hingga 82%. Ini memberi sinyal positif bahwa harga listrik surya semakin mampu bersaing dengan harga listrik fossil. Proyek PLTS terapung yang rencananya dibangun di Waduk Cirata Jawa Barat, malah lebih rendah, hanya 5,8 sen USD per kWh.

Skema pemanfaatan yang memungkin di Indonesia

  • PLTS ground mounted

Dengan luasnya daratan yang Indonesia miliki,  hanya sebagian kecil dari daratan ini yang digunakan. Lahan yang digunakan terutama lahan yang selama ini tidak digunakan. Misalnya lahan yang tidak cocok untuk pertanian, hanya ditumbuhi padang ilalang dan semak belukar. Kapasitas 1800 GWp PLTS membutuhkan sekitar 12 ribu km2 lahan daratan. Luasan tidak lebih dari 1% daratan Indonesia.

  • PLTS terapung di danau atau laut

Dengan luas danau sekitar 120 ribu km2, luas lautan internal dan laut kepulauan sekitar 3,1 juta km2, belum lagi waduk-waduk pembangkit listrik tenaga air, maka sangat luas permukaan air untuk penerapan PLTS terapung (floating solar PV) ini di Indonesia. Kapasitas 1800 GWp PLTS membutuhkan sekitar 8 ribu km2 lahan permukaan air. Tidak lebih dari 0,55 perairan laut Indonesia. Berikut ilustrasi penerapannya di negara lain:

  • PLTS terintegrasi bangunan (building integrated PV)

Gedung-gedung perkantoran, gedung pemerintah, gedung industri, rumah tinggal, pun bisa menjadi tempat dipasangnya panel surya. Bisa dipasang di atap, pada dinding bangunan (facade), atau terintegrasi dengan struktur bangunan lainnya. Berikut adalah ilustrasinya:

  • PLTS terintegrasi pertanian (agrivoltaic)

Skema lainnya yang dapat diterapkan adalah teknologi agrivoltaics, yaitu konsep menggabungkan penggunaan lahan pertanian dengan instalasi PLTS / solar PV (agriculture + photovoltaics). Pada lahan pertanian selain ditanami tanaman pangan, juga dipasangi panel surya. Panel surya seakan-akan menjadi kanopi bagi tanaman tersebut. 

Ini sangat menguntungkan bagi pemilik lahan pertanian, selain bisa mendapatkan hasil panen secara berkala, diperoleh juga energi listrik setiap hari. Penghasilan dari bertani ditambah dengan penghasilan dari listrik yang diproduksi. 

Ini secara keseluruhan meningkatkan produktivitas lahan tersebut. Menurut Peta Rupa Bumi Indonesia, negara kita memiliki luas lahan pertanian (padi, perkebunan, palawija, ladang) mencapai sekitar 700 ribu km2, sangat berpotensi menerapkan skema agrivoltaics ini. Berikut model-model penerapan PLTS terintegrasi pertanian:

Agrivoltaics cocok diterapkan pada lahan pertanian dengan tanaman yang toleran terhadap efek bayangan dari panel surya : yaitu tanaman arugula, sayuran Asia, chard, sawi, kale, sawi, peterseli, sorrel, bayam, daun bawang, brokoli, kohlrabi, kubis, kacang tanah, alfalfa, ubi, talas, singkong, dan ubi jalar. Atau tanaman yang hanya butuh sedikit sinar matahari, yaitu mentimun, lobak, labu, kol, dan paprika hijau. Namun konsep Agrivoltaics tidak cocok untuk tanaman yang butuh sinaran matahari yang banyak, misalnya jagung, semangka, tomat, mentimun, labu, kubis, lobak, dan padi. Jika dipaksakan, maka hasil produksinya akan berkurang drastis. Harus ada disain seberapa luas kanopi panel surya nya, untuk menjaga hasil panen tetap optimal.

Beragam skema dapat diterapkan di negara kita, tampak jelas bahwa sangat besar peluang Indonesia memanfaatkan energi surya ‘gratis’ yang tersedia setiap hari. Ketersediaan lahan dan berbagai skema yang sangat bisa diterapkan. Toh teknologi listrik surya yang bersih tidak lagi mahal harganya.

Energi bersih, lingkungan sehat, kita pun sehat. Salam.

Click here for link ( Menakar Peluang Indonesia, Memetik “Energi Gratis” Sang Mentari )
Click here for download article ( Menakar Peluang Indonesia, Memetik “Energi Gratis” Sang Mentari )