POTENSI penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebagai sumber energi terbarukan di Indonesia belum maksimal dimanfaatkan. Potensi itu belum terealisasi karena salah satu tantangan investasi PLTS ialah biaya yang cukup besar. “Indonesia masih menyubsidi listrik yang sumbernya dari batu bara dan gas, padahal industri PLTS ini sudah termasuk kompetitif bisa dijalankan tanpa subsidi dan dari segi lingkungan dapat mengurangi jejak karbon yang berdampak pada perubahan iklim,” ujar Managing Director Xurya Eka Himawan dalam acara lokakarya media mengenai energi terbarukan yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Lembaga Swadaya Masyarakat Hivos yang berlangsung pada Jumat (6/12) hingga Minggu (8/12).

Pemerintah, sudah memberikan ruang dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN, ada nilai keekonomisan yang bisa didapat para pengguna.

Ada perbedaan nilai investasi antara sistem panel surya yang inverter On Grid yang dikombinasikan dengan suplai litrik dari PLN dengan off grid. Untuk sistem off grid atau 100% tidak menggunakan listrik dari PLN.

Sementara itu, Guru Besar Teknik Elekto dari Universitas Trisakti Prof. Syamsir Abduh yang sempat menjadi anggota Dewan Energi Nasional menuturkan persoalan harga menjadi tantangan energi terbarukan tidak jalan di Indonesia.

Energi terbarukan, masih dianggap mahal. “Kalau harga lebih mahal, pemerintah wajib menyubsidi tidak ada alasan. Energi terbarukan memang saat ini lebih mahal dari energi fosil, tapi ongkos lingkungannya tidak diperhitungkan,” tegasnya. Sementara itu, Chairman Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Surya Darma menjelaskan perkembangan energi terbarukan di Indonesia cenderung stagnan sebab dari segi pendanaan untuk investasi dan sumber daya manusia yang mampu mengembangkannya masih terbatas.